Penanganan cedera olahraga yang tepat bisa menjadi kompleks dan menantang tenaga kesehatan di bidang olahraga. Penanganan cedera olahraga pada atlit mencakup pencegahan cedera atletik dan memprogram rehabilitasi setelah cedera sendi. Mekanisme struktural dan neuromuskular akan terganggu jika terjadi cedera dan akan menyebabkan penurunan kinerja dan meningkatkan risiko terjadinya cedera berulang.
Saat melakukan gerakan seperti berjalan, berlari, atau melompat, sebagai suatu siklus respons cepat dari ekstremitas bawah, dan beberapa bagian dari ekstremitas atas, otot-otot pada bagian tubuh ini memainkan peran penting dalam menjaga postur tubuh yang diinginkan. Informasi aferen untuk menyempurnakan kontrol motorik disediakan oleh reseptor proprioseptif, visual, vestibular, dan somatosensori.
Reseptor somatosensori terletak di otot, tendon, sendi, dan jaringan lain. Proprioseptif berkaitan dengan indera posisi mekanoreseptif, yang mencakup indera sentuhan dan posisi. Trauma pada jaringan dapat menyebabkan kerusakan mekanoreseptor, yang dapat menyebabkan defisit proprioseptif. Akibatnya, risiko terjadinya cedera ulang dapat terjadi karena berkurangnya umpan balik proprioseptif. Trauma ligamen dapat mengakibatkan ketidakstabilan mekanis dan defisit proprioseptif yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan fungsional, yang pada akhirnya dapat menyebabkan mikrotrauma lebih lanjut dan cedera ulang.
Latihan Proprioseptif sebagai Pencegahan Cedera Ligamen
Latihan harus mencakup rangkaian gerakan yang berulang yang dilakukan secara perlahan dan terarah, serta disertai dengan gangguan posisi sendi yang dilakukan secara tiba-tiba dan dilakukan secara eksternal untuk melatih refleks.
1. Latihan Keseimbangan
Salah satu kategori utama latihan proprioseptif adalah pelatihan keseimbangan. Latihan-latihan ini membantu melatih sistem proprioseptif dalam aktivitas yang sebagian besar bersifat statis. Pada ekstremitas bawah, aktivitas dapat mencakup latihan keseimbangan berdiri dengan satu kaki, penggunaan latihan wobble board secara progresif, dan latihan jalan tandem di mana gangguan postur dapat diterapkan pada individu oleh terapis.
2. Latihan Pliometrik
Latihan pliometric menggabungkan preload eksentrik (peregangan eksentrik cepat) diikuti dengan kontraksi konsentrik yang kuat. Teknik latihan ini diduga dapat meningkatkan stabilisasi refleks sendi dan dapat meningkatkan kekakuan otot. Latihan ini menjadi semakin populer sebagai contoh latihan kontrol neuromuskular yang mengintegrasikan tingkat tulang belakang dan batang otak dan telah menjadi latihan tambahan yang efektif untuk program pengondisian dan rehabilitasi ekstremitas atas dan bawah.Latihan pliometrik pada proram rehabilitasi pasca cedera bisa ditambahkan setelah kekuatan yang mendekati normal di semua otot target tercapai.
3. Latihan Isokinetik
Latihan isokinetik dapat dilakukan untuk meningkatkan sensasi “posisi sendi“. Atlet akan diminta untuk menempatkan ekstremitasnya pada posisi yang telah ditentukan dan diminta untuk mengulangi posisi ini. Awalnya dilakukan dengan mata terbuka dan kemudian dengan mata tertutup untuk menghalangi input visual yang mungkin membantu kontrol neuromuskular. Latihan ini dapat dilakukan dengan dan tanpa beban eksentrik dan/atau konsentris.
4. Kinetic-chain exercise
Latihan closed-chain melatih aspek dinamis dan refleksif dari proprioception pada tungkai dan kaki. Selama gerakan closed-chain pada satu sendi, dihasilkan gerakan yang dapat diprediksi pada sendi lainnya yang biasanya melibatkan gaya aksial. Ekstremitas bawah berfungsi secara closed-chain selama olahraga dan aktivitas kehidupan sehari-hari, sehingga latihan ini akan memudahkan dalam mendapatkan kembali pola neuromuskular yang tepat.
Latihan resistensi manual open-chain dengan stabilisasi ritmis (perubahan cepat dalam arah tekanan yang diberikan) juga dianggap berguna secara proprioseptif. Dalam kedua kasus tersebut, resistensi dapat dimodifikasi, tergantung pada toleransi rasa sakit, seiring perkembangan pasien.
5. Latihan time-reaction
Lamanya time-reaction menunjukkan bahwa aktivitas motorik tidak dapat dianggap semata-mata sebagai respons terhadap rangsangan lingkungan. Untuk mencegah cedera, diperlukan serangkaian perintah otot yang sudah terprogram. Pemrograman motorik ini memungkinkan melakukan aktivitas berdasarkan paparan terhadap peristiwa yang sedang berlangsung. Pengulangan latihan time-reaction juga memungkinkan korteks serebral menentukan pola motorik paling efektif untuk tugas tersebut dan berpotensi mengurangi waktu respons.
Pada umumnya program latihan tersebut disarankan untuk dilakukan setidaknya selama 6-10 minggu untuk meningkatkan kemampuan proprioseptif, terutama selama masa pra-musim. Perlu juga diingat bahwa latihan proprioseptif harus digabungkan dengan item pelatihan spesifik lainnya seperti kekuatan, fleksibilitas, ketangkasan, dan lain-lain selama latihan.
Baca juga : Apa Itu Kerobekan Ligamen ? Ketahui Penyebab dan Gejalanya
Referensi :
- Mahmut Nedim Doral, Jon Karlsson. 2015. Sports Injuries : Prevention, Diagnosis, Treatment and Rehabilitation. Springer Berlin, Heidelberg. doi : https://doi.org/10.1007/978-3-642-36569-0